Thursday, March 10, 2011

MANUSIA YANG BERKUALITAS

Dalam dunia bisnis terdapat berbagai unsur, yaitu modal, mesin, teknologi, manajemen, sumber daya manusia dan market. Di antara unsur tadi, pasti unsur manusialah yang terpenting. Manusia yang mengadakan modal, menjalankan mesin, melakukan pembelajaran tehnologi, membentuk market, memimpin dan yang di pimpin. Jadi, bisa diartikan bahwa kemunduran dan kemajuan sebuah perusahaan, organisasi maupun negara, semua tergantung dari sikap kualitas manusia yang mengelolanya. Semakin baik kualitas sumber daya manusia dan semakin banyak SDM berkualitas yang dimiliki oleh suatu perusahaan atau negara, maka perusahaan atau negara tersebut pasti akan mengalami pertumbuhan yang mantap.
Bagi orang-orang sukses, baik sukses sebagai wirausahawan maupun profesional, mereka pasti memiliki karakteristik-karakteristik yang spesifik, seperti sikap mental yang positif, leadership yang handal, pandai bergaul, disiplin, tanggung jawab, menyukai kerja keras dan tantangan, dan tidak pernah berhenti untuk belajar.
Demikian pula dengan kita. Kualitas diri seseorang bisa diukur dari berbagai aspek, aspek kesehatan, pendidikan, ekonomi, kecerdasan dan lain sebagainya. Bila dilihat dari kaca mata agama kualitas manusia salah satu diantaranya dapat diukur dari kemampuannya menjaga lidah (pembicaraan). Orang-orang beriman tentu akan berhati-hati dalam menggunakan lidahnya, sebagaimana Allah berfirman: "Wahai orang-orang beriman takutlah kalian pada Allah dan berkatalah dengan kata-kata yang benar" (QS. al-Ahzab:70). Sementara itu, Rasulullah bersabda: "Siapa yang beriman pada Allah dan hari akhir, maka hendaklah dia berkata baik atau diam" (HR. Bukhari-Muslim).
Rasulullah adalah figur teladan yang sangat menjaga kata-katanya. Beliau berbicara, berucap, berdialog, juga berkhotbah di hadapan jemaah dengan ramah dan sopan. Demikian tinggi akhlak beliau hingga disebutkan bahwa kualitas akhlak beliau adalah Alquran.
Nabi Muhammad termasuk orang yang sangat jarang berbicara. Namun, sekalinya berbicara, isi pembicaraannya bisa dipastikan kebenarannya. Bobot ucapan Rasulullah sangat tinggi, seolah tiap kata yang terucap adalah butir-butir mutiara yang cemerlang, indah, berharga, bermutu, dan monumental. Ucapan Rasulullah menembus hati, menggugah kesadaran, menghunjam dalam jiwa, dan mengubah perilaku orang (atas izin Allah). Bukan saja karena lisan Rasulullah dibimbing Allah dan posisinya sebagai penyampai wahyu, di mana ucapan-ucapan darinya menjadi dasar hukum. Lebih dari itu, Rasulullah sejak kecil sudah dikenal sebagai al-amin, tidak pernah berkata dusta walau sekali saja.
Kualitas moral seseorang tentu sangat mempengaruhi kualitas ucapan. Mulut manusia itu seperti moncong teko. Moncong teko hanya mengeluarkan isi teko. Kalau ingin tahu isi teko, cukup lihat dari apa yang keluar dari moncong itu. Begitu pun jika kita ingin mengetahui kualitas diri seseorang, lihat saja dari apa yang sering dikeluarkan oleh mulutnya.
Dari uraian di atas dapat dikatakan bahwa menurut agama aspek kualitas manusia sangat mempengaruhi keberhasilan suatu program, maka dengan demikian manusia dituntut memiliki sikap mental yang positif, leadership yang handal, pandai bergaul, disiplin, tanggung jawab, menyukai kerja keras dan tantangan, dan tidak pernah berhenti untuk belajar. Dalam sebuah sumber ada keterangan menarik yang menyebutkan empat jenis manusia diukur dari kualitas pembicaraannya:
Pertama, orang yang berkualitas tinggi. Kalau dia berbicara, isinya sarat dengan hikmah, ide, gagasan, solusi, ilmu, zikir, dan sebagainya. Orang seperti ini pembicaraannya bermanfaat bagi dirinya sendiri, juga bagi orang lain yang mendengarkan. Jika dia diajak berbicara ngobrol, ujungnya adalah manfaat. Ketika disodorkan padanya keluhan tentang krisis, dengan tangkas dia menjawab, "Krisis adalah peluang bagi kita untuk mengevaluasi kekurangan yang ada. Dengan krisis, siapa tahu kita akan lebih kreatif? Kita bisa mencari celah-celah peluang inovasi. Pokoknya jangan putus asa, semangat terus!" Berbicara tentang solusi, gagasan, hikmah dan hal-hal serupa itu, insya Allah dia adalah manusia yang berkualitas.
Kedua, orang yang biasa-biasa saja. Ciri orang seperti ini adalah selalu sibuk menceritakan peristiwa. Melihat ada kereta api terguling, dia berkomentar ribut sekali. Seolah dirinya yang terlindas kereta. Ketika bertemu seorang artis, terus dicerita-ceritakan tiada henti. Pokoknya ada apa saja dikomentari. Dia seperti juru bicara yang wajib berkomentar kapan pun ada peristiwa. Tidak peduli peristiwa layak dia komentari atau tidak. Ini tipe manusia tukang cerita peristiwa. Prinsip yang dia pegang: "Pokoknya bunyi!" Tidak ada masalah dengan peristiwa. Jika melalui itu semua kita bisa memungut hikmah yang sebaik-baiknya, insya Allah peristiwa bermanfaat. Namun, jika dari peristiwa-peristiwa itu tidak ada yang dituju kecuali menunggu sampai mulut lelah sendiri, ini tentu kesia-siaan.
Ketiga, orang rendahan. Cirinya kalau berbicara isinya hanya mengeluh, mencela, atau menghina. Apa saja bisa jadi bahan keluhan. "Aduuuh ini pinggang, kenapa jadi sakit begini. Hari ini kayaknya banyak masalah, nih!" Ketika kepadanya disodorkan makanan, jurus keluhannya segera berhamburan. "Makanan kok dingin begini? Coba kalau ada sambel, tentu lebih nikmat. Aduuuh, kerupuk ini, kenapa kecil-kecil begini?" Terus saja makanan dikeluhkan walaupun semuanya akhirnya habis juga.
Mengeluh dan mencela, itu hari-hari orang rendahan. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Ketika turun hujan, hujan segera dicaci. "Ohh, hujan melulu, di mana-mana becek. Jemuran nggak kering-kering." Ketika di jalanan macet, mengeluh. Ketika ada lampu merah, mengeluh. Ketika ada polisi, mengeluh. Ketika ada orang meminta-minta, mengeluh. Dan seterusnya. Seolah tiada hari berlalu tanpa keluh-kesah. Alangkah menderita hidup orang yang "dipenjara" oleh keluh-kesah. Dia tidak bisa membedakan mana nikmat dan mana musibah. Seluruh lembar hidupnya dimaknai sebagai kesusahan, sehingga layak dikeluhkan.
Keempat, orang yang dangkal. Adalah mereka yang semua pembicaraannya tidak keluar dari menyebut-nyebut kehebatan dirinya, jasa-jasanya, kebaikan-kebaikannya. Padahal hidup ini adalah pengabdian untuk Allah. Mengapa harus kita membanggakan apa yang Allah titipkan pada kita? Ada orang pakai cincin segera berkomentar, "Oh, itu sih mirip cincin saya." Ada orang beli mobil baru, "Nah, ini seperti yang di garasi saya itu." Ada kucing berbulu tebal melompat, "Kucing ini gondrong. Oh yaa, kucing gondrong itu mirip singa. Hai, tau nggak? Saya sudah pernah ke Singapura, lho. Hebat sekali kota Singapura. Hanya orang yang hebat saja bisa pergi ke sana." Orang-orang dangkal ini akan terus berbicara tiada henti. Tak lupa dia selalu menyelipkan kata-kata kesombongan dan membanggakan diri.
Orang-orang dangkal tiada bosan mengekspose diri, menyebut jasa, kebaikan, dan prestasinya. Dia selalu ingin tampak menonjol dan mendominasi. Jika ada orang lain yang secara wajar tampak lebih baik, hatinya teriris-iris, tidak rela, dan sangat berharap orang itu akan segera celaka. Inilah ilmu gelas kosong. Gelas kosong, maunya diisi terus. Orang yang kosong dari harga diri, inginnya minta dihargai terus.
Kita harus berhati-hati dalam berbicara. Harus kita sadari bahwa berbicara itu dibatasi oleh etika-etika. Hendaklah kita ada di atas rel yang benar. Jangan sampai kita jatuh dalam apa-apa yang Allah larang. Dalam berbicara kita jangan bergunjing (ghibah). "Dan janganlah kalian berghibah (bergunjing) sebagian kalian terhadap sebagian yang lain. Apakah suka salah-seorang dari kalian makan daging bangkai saudaranya? Maka, kalian tentu akan sangat jijik kepadanya. Dan takutlah kalian kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat" (QS Al-Hujurat:12).
Kita tidak bisa memaksa orang lain berbuat sesuai keinginan kita. Tapi kita bisa memaksa diri kita untuk melakukan yang terbaik menyikapi sikap orang lain. Banyak bicara tidak selalu buruk, yang buruk adalah banyak berbicara kebatilan. Boleh-boleh saja kita produktif berbicara, tapi harus proporsional. Jika kita berbicara hal yang benar dan memang harus banyak, tentu kita lakukan hal itu. Pembicaraan sering kali bergeser dari rel kebaikan ketika kita tidak proporsional.
Semua orang harus menjaga lidahnya. Tidak peduli apakah itu orang-orang yang dianggap ahli agama. Orang-orang yang pandai membaca al-Quran atau Hadis, tidak otomatis pembicaraannya telah terjaga. Di sini tetap dibutuhkan proses belajar, berlatih, dan terus berjuang agar mutu kata-kata kita semakin meningkat. Semoga Allah SWT membimbing lisan kita untuk berucap mengikuti keteladanan Rasulullah.
Sesungguhnya kita memiliki potensi untuk menjadi manusia yang berkualitas. Mari kita kembangkan potensi positif yang ada di dalam diri kita masing-masing, guna mengisi tugas kita di kehidupan ini dengan lebih berkualitas dan lebih sukses.

No comments:

Post a Comment

Blog Archive